Natural, Informative And Educative

Natural, Informative And Educative
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA YANG KE 75, SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA, MARHABAN YA MUHARRAM. SELAMAT MEMASUKI TAHUN BARU ISLAM 1442 H" Mohon maaf lahir batin

Kamis, 14 Oktober 2010

HAKIKAT ILMU: EPISTEMOLOGI

Share

HAKIKAT ILMU: EPISTEMOLOGI
Oleh: Eriyan Toni & Emil Mon

Pendahuluan
Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar.

Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.
Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.
Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan, persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. Namun belakangan ini, di Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.
Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris. (http://isyraq.wordpress.com)
Pengertian Epistemologi
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1. Hakikat itu ada dan nyata;
2. Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3. Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4. Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia? Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas ia meneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
Secara bahasa Epistemologi berasal dari kata “episteme” dan “logos”, berasal dari bahasa Yunani. Episteme artinya pengetahuan (knowledge), sedangkan “logos” artinya teori. Dengan demikian epistemologi secara etimologis (Theory of Knowledge) berarti teori pengetahuan. (Sudarsono: 2001)
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Dalam rumusan lain disebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari soal watak, batas-batas dan berlakunya ilmu pengetahuan; demikian rumusan yang diajukan oleh J.A.N. Mulder dalam Sudarsono (2001).
Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1) Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a. Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b. Ilmu adalah kehadiran dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam.
c. Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d. lmu adalah pembenaran dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
e. lmu adalah pembenaran yang diyakini.
f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.
h. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
i. Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
j. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2) Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Metode Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain
a. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.
b. Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat.
c. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.
Urgensi Epistemologi
Jika kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi apabila kita menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika, fiqih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.
Hubungan epistemologi dengan persoalan politik adalah hal yang juga tak bisa disangkal dan saling terkait. Plato berkata pada penguasa Yunani ketika itu, “Anda tidak layak memerintah, karena Anda bukan seorang hakim (filosof).” Dan juga berkaitan dengan pemerintahan Islam bisa dikatakan bahwa karena manusia tak bisa memahami hakikat dirinya sendiri sebagaimana yang semestinya, maka penetapan hukum hanya berada ditangan Tuhan, dan para ulama yang adil adalah wakil Tuhan yang memiliki hak memerintah. Pada sisi lain, sebagian beranggapan bahwa makrifat agama adalah bukan bagian dari ilmu, dan untuk memerintah mesti dibutuhkan ilmu politik dan pemerintahan, sementara kaum ulama tersebut tak menguasainya, dengan demikian, mereka tidak berhak memerintah.
Pembahasan seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita pentingnya pengkajian epistemologi dan konklusi-konklusinya, dan dari aspek lain, begitu banyak ayat al-Quran berkaitan dengan argumentasi akal, memotivasi manusia untuk menggapai ilmu dan makrifat, dan menolak segala bentuk keraguan. Semua kenyataan ini berarti bahwa pencapaian keyakinan dan kebenaran adalah sangat mungkin dengan perantaraan akal dan argumentasi rasional, dan jika ada orang yang ragu atas realitas ini, maka minimalnya ia harus menerimanya untuk menjawab segala bentuk kritikan.
Perbedaan hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi akal-pikiran. Rahasia kemanusiaan manusia adalah bahwa ia mesti menjadi maujud yang berakal dan mengaplikasikan kekuatan akal dalam semua segmen kehidupannya serta seluruh kehendak dan iradahnya terwujud melalui pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti bahwa jika akal dan rasionalitasnya dipisahkan dari kehidupannya, maka yang tertinggal hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika hidupnya berasal dari kecenderungan hewaninya.
Manusia ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya dinapasi oleh akal dan pengetahuan, maka dari itu, suatu rangkaian persoalan yang prinsipil menjadi terkonstruksi dengan tujuan untuk mencarikan solusi atas segala permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengetahuan dan akal manusia, dimana hal itu merupakan pembatas substansial antara iadengan hewan.
Yang pasti, jawaban atas segala persoalan mendasar niscaya dengan upaya-upaya rasional dan filosofis, karena ilmu-ilmu alam dan matematika tidak mampu memberikan solusi komprehensif dan universal atasnya. Karena telah jelas urgensi upaya rasional untuk kehidupan hakiki manusia, maka persoalan yang kemudian muncul ialah apakah akal manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut? Jika nilai dan validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah berguna pengakuan akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi manusia, dan keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa apakah akal telah memberikan solusi yang benar atas perkara-perkara tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti pembahasan epistemologi. Dengan begitu, sebelum melangkah ke arah upaya-upaya rasional dan filosofis, langkah pertama yang mesti diambil adalah membedah persoalan-persoalan epistemologi.
Dengan ungkapan lain, apabila kita merujuk kepada daftar isi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, misalnya persoalan tentang keberadaan realitas eksternal dan kemungkinan terjalinnya hubungan manusia dengan realitas eksternal itu, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa epistemologi merupakan pemberi validitas dan nilai kepada seluruh pemikiran filsafat dan penemuan ilmiah manusia sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ilmu dan pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun pemikiran filsafat manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai, karena semua aliran filsafat dan ilmu mengaku telah berhasil mengungkap hakikat alam, manusia, dan rahasia fenomena eksistensial lainnya.
Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan filosof Islam kontemporer asal Iran, Murthada Muthahhari, ia berkata “Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan epistemologi. “
Sejarah Epistemologi
Dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan kehidupan manusia.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis.
Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih lanjut, dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idealisme, dan Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan.
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant. (http://isyraq.wordpress.com/2007)
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
Kebenaran Pengetahuan
Jika seseorang mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli epostemologi dan ahli filsafat, pada umumnya untuk membuktikan bahwa pengetahuan bernilai benar, seseorang menganalisis terlebih dahulu cara, sikap dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang kebenaran (Surajiyo, 2005) antara lain sebagai berikut:
1. Teori kebenaran saling Berkesesuaian
Berdasarkan teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa kebenaran itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.

2. Teori kebenaran berdasarkan Arti
Berdasarkan teori kebenaran semantiknya Bertrand Russell, bahwa kebenaran (proposisi) itu ditinjau dari segi arti atau maknanya.
3. Teori kebenaran berdasarkan konsisten
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
4. Teori kebenaran berdasarkan pragmatik.
Yang dimaksud dengan teori ini ialah bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
5. Teori kebenaran berdasarkan koheren
Berdasarkan teori koherennya Kattsoff dalam bukunya Element of Philosophy, bahwa suatu proposisi itu benar, apabila berhubungan dengan ide-ide dari proposisi terdahulu yang benar.
6. Teori kebenaran Logis yang berlebihan
Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Ayer, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebernarannya memiliki derajat logis yang sama masing-masing saling melingkupi.
7. Teori skeptivisme, suatu kebenaran dicari ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
8. Teori kebenaran non-deskripsi. Teori yang dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme, yang menyatakan bahwa suatu statemen atau pernyataan mempunyai nilai benar amat tergantung peran dan fungsi dari pada pernyataan itu.
Sedangkan nilai-nilai kebenaran itu bertingkat-bertingkat, sebagaimana yang telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun kebenaran menurut Anshari dalam Surajiyo (2005) mempunyai empat tingkatan, yaitu: 1) kebenaran wahyu, 2) kebenaran spekulatif filsafat, 3) kebenaran positif ilmu pengetahuan dan 4) kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan selalu berubah-rubah dan berkembang.
Terjadinya Pengetahuan
Menurut Made Pidarta (1997) ada lima sumber pengetahuan: 1) Otoritas, yang terdapat dalam enseklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel; 2) Common sense, yang ada pada adat dan tradisi; 3) Intuisi yang berkaitan dengan perasaan; 4) Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman; 5) Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
Vauger menyatakan bahwa titik tolak penyelidikan epistemologi adalah situasi kita, yaitu kejadian. Kita sadar bahwa kita mempunyai pengetahuan lalu kita berusaha untuk pada saatnya kita harus memberikan pengetahuan dengan menerangkan dan mempertanggungjawabkan apakah pengetahuan kita benar dalam arti mempunyai isi.
Hal ini menumbuhkannya rasionalisme yang secara kritis adalah mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper, tahapan ini penting dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba menentukan kebenaran secara analisis yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis. Dengan demikian berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia, sebab dengan demikian berbagai penjelasan teoritis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.
Jadi dapat diartikan secara epistemologi ada dua tahap cara mendapatkan pengetahuan, yaitu secara teoritis, dengan mempergunakan semua pengetahuan ilmiah (ilmu) yang telah dikumpulkan manusia selama ini (ini baru dugaan atau hipotesis). Selanjutnya pembuktian (teori dengan kenyataan).
Metode Ilmiah
Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan secara ilmiah yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah. Metode ilmiah dalam prosesnya menemukan pengetahuan terdiri dari atas beberapa langkah tertentu yang semuanya kait mengkait satu sama lain secara dinamis, sampai kepada kesimpulan yang benar. Metode ilmiah merupakan sintesis antara berpikir rasional dan bertumpu pada data empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.
Metode ilmiah mempunyai mekanisme umpan balik yang bersifat korektif yang memungkinkan upaya keilmuan menemukan kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sebaliknya bila ternyata bahwa sebuah pengetahuan ilmiah yang baru adalah benar, maka pernyataan yang terkandung dalam pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai premis baru, yang bila kemudian ternyata dibenarkan dalam proses pengujian akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang baru.
Langkah-langkah kegiatan berpikir ilmiah:
1. Penemuan atau penentuan masalah secara sadar
2. Perumusan kerangka permasalahan
3. Menyusun kerangka penjelasan
4. Pengajuan hipotesis
5. Pengujian hipotesis
6. Deduksi dari hipotesis
7. Pembuktian dari hipotesis
8. Penerimaan hipotesis
9. Penerimaan hipotesis menjadi teori ilmiah

Penutup
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan pengetahuan. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta/kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya.

Kepustakaan

Nasoetion, Andi Hakim, 1988. Pengantar ke Filsafat Sains. Jakarta: Litera Antarnusa.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta.

Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat “Suatu Pengantar”. Jakarta: Rineka Cipta.

http://isyraq.wordpress.com/2007/08/28/epistemologi teori ilmu-pengetahuan/

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar,namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.