Meski awalnya hanya
ikut-ikutan, namun cinta Hari ’Powel’ Kustono pada tenis lapangan begitu
besar. Hidup dan matinya dipersembahkan untuk olahraga yang menggunakan raket
dan bola karet ini.
Di komunitas pecinta olahraga tenis Kota Malang, nama Hari Kustono mungkin tak
begitu akrab. Namun jika Anda menyebut nama Powel, mereka pasti langsung
mengangukkan kepala sebagai tanda sangat familiar dengan nama itu. Ya, Powel
merupakan penggila tenis. Di usia yang sudah melewati setengah abad, cintanya
pada tenis tak luntur sedikit pun.
Powel mengenal tenis saat masih duduk di bangku SD. Saat itu, kakaknya yang bernama Rubai yang lebih dulu berkecimpung dengan olahraga tampel bola itu. Melihat kakaknya sangat menikmati permainan tenis, ia pun ketularan. Namun jangan bayangkan Powel langsung bergabung menjadi atlet. Ia mengawali langkahnya di dunia tenis mulai dari pengumpul bola.
”Saya berasal dari keluarga kurang mampu. Kebetulan rumah saya ada di daerah Bareng yang dekat dengan lapangan tenis, sehingga keluarga saya akrab dengan olahraga ini. Saya sendiri awalnya hanya menjadi caddy (pengumpul bola). Mau langsung main tentu tidak bisa. Harga raket mahal sekali sehingga saya tidak mampu membelinya,” beber Powel pada Familia Malang Post.
Ide Powel menjadi caddy di lapangan tenis Gajayana ternyata sangat cemerlang. Saat latihan tenis sedang break, ia bisa meminjam raket pemain untuk digunakan latihan. Tetapi oleh pemilik raket tersebut, Powel tidak diizinkan menggunakan secara maksimal agar tidak rusak. Paling-paling hanya boleh melakukan service.
Karena tidak bisa berlatih maksimal, sesekali Powel menggunakan tamplek yang terbuat dari kayu agar bisa menampol bola dengan kekuatan penuh. Cara ini cukup mengobati nafsu Powel bermain tenis.
Upah menjadi caddy sebesar Rp 10/jam dengan tekun dikumpulkan oleh Powel. Dengan tabungan itu pulalah, Powel akhirnya bisa membeli raket sendiri. Saat duduk di bangku kelas 5 SD, Powel mampu menunjukkan prestasinya dengan menjadi juara pertama kompetisi antar anak-anak.
”Sejak saat itu saya terus menekuni tenis. Ketika SMA, saya sempat diajak
bermain tenis di Bali dan disekolahkan di sana.
Namun setelah lulus SMA, saya kembali lagi ke Malang. Ke lapangan tenis Gajayana tempat
saya mengenal tenis kali pertama,” ungkap Powel.
Karena sudah tidak memiliki tanggungan belajar di sekolah, intensitas Powel di lapangan tenis pun jadi semakin tinggi. Hampir setiap hari ia selalu berada di lapangan tenis. Pagi, siang, dan sore, selalu dihabiskannya di lapangan tenis yang hanya berjarak beberapa meter dari kediamannya itu.
Karena sudah tidak memiliki tanggungan belajar di sekolah, intensitas Powel di lapangan tenis pun jadi semakin tinggi. Hampir setiap hari ia selalu berada di lapangan tenis. Pagi, siang, dan sore, selalu dihabiskannya di lapangan tenis yang hanya berjarak beberapa meter dari kediamannya itu.
Saat itu, Powel cukup sering menemani bapak-bapak pejabat bermain tenis. Entah sebagai caddy atau sebagai lawan main. Karena sering berinteraksi dengan pejabat, suatu kali Powel pun disuruh untuk mendaftar menjadi PNS. Hanya sekali mendaftarkan diri, ternyata Powel langsung diterima.
“Kali pertama bekerja sebagai PNS, saya sudah ditempatkan di lapangan tenis Gajayana. Orang-orang pemerintahan sepertinya sudah sangat hapal dengan kesukaan saya, jadi mereka menempatkan saya di bagian ini,” katanya.
Setelah menjadi PNS yang ditempatkan di lapangan tenis, intensitas Powel di lapangan pun semakin tinggi. Ia datang ke lapangan tidak hanya untuk bermain, tetapi juga melakukan segala aktivitas. Bahkan selama 10 tahun pertama menjadi pengawas lapangan tenis Gajayana, ia selalu tidur malam di lapangan.
”Kebetulan saya diserahi tugas menjaga 24 jam. Dari pada kepikiran di rumah, ya sudah, saya tidur malam sekalian di lapangan,” aku Powel. (nda/sir/han)
Tak Paksakan Anak Ikuti Jejak
Kecintaan Powel terhadap olahraga tenis ternyata menular kepada anak-anaknya. Tidak hanya satu atau dua anak saja yang ketularan hobi sang ayah, tetapi semua anak yang berjumlah tujuh orang.
Powel mengaku, ia memang sengaja menulari ketujuh anaknya dengan olahraga kesukaannya ini. Saat mereka kecil, Powel sudah mengajak mereka ke lapangan tenis. Entah sekadar jalan-jalan, duduk manis di bench atau ikut mengumpulkan bola ketika sang ayah bertanding.
“Saya memang menggilai tenis, tetapi bukan berarti saya memaksa anak-anak untuk seperti saya. Saya hanya mengajak mereka ke lapangan. Dengan sendirinya mereka menyukai olahraga ini,” beber pria berkumis ini.
Sebagai ayah, Powel enggan memaksakan kehendaknya kepada anak-anak. Ia pernah mendapatkan pengalaman yang kurang mengenakkan saat memaksakan kehendak kepada salah satu anaknya, yakni pada anak ketiga yang bernama Sellina. Saat Sellina SMA, ia ingin masuk kelas bahasa. Namun Powel menginginkan sang anak masuk kelas IPA.
Karena bukan jurusan pilihannya, Sellina pun jadi ogah-ogahan sekolah. Gara-gara itu juga, Powel pun dipanggil oleh kepala sekolah. Saat dipertemukan dengan sang anak, barulah Powel menyadari bahwa segala sesuatu yang dipaksakan memang tidak menguntungkan bagi si anak itu sendiri.
Karena tidak pernah memaksakan kehendaknya, anak-anak Powel pun jadi mencintai tenis dengan sepenuh hati seperti dirinya. Dan karena bermain dari hati, anak-anak Powel banyak yang mampu berprestasi. Sebut saja Yanuar Widi yang pernah menyumbangkan emas untuk Kota Malang di ajang Porprov II/2009 lalu.
”Selain Yanuar, adik-adiknya juga beberapa kali ikut kejuaraan. Seperti Wido Oksar dan Ollan Fajar. Mereka menjadi penerus kakaknya di ajang junior,” terangnya.
Selain mengikuti jejak sebagai pemain, anak-anak Powel juga mengikuti langkahnya menjadi pelatih untuk pemain pemula. Dengan menjadi pelatih, mereka bisa mendapatkan penghasilan sendiri dan membiayai sekolah dengan keringat sendiri.
”Sejak awal saya memang sudah mengajari anak-anak untuk hidup mandiri. Saya bekali mereka dengan ilmu tenis, mereka akan berupaya untuk mencari penghasilan dari ilmu yang sudah didapat. Dan syukurlah, usaha yang mereka lakukan sudah membawa hasil,” paparnya.
Acungi Jempol untuk Istri
Tak hanya bisa sekolah dan mendapat pekerjaan karena
tenis, Powel juga mendapatkan istri berkat olahraga yang ditekuninya sejak
tahun 1970-an ini. Begitulah yang diakui oleh pria kelahiran Malang, 14 Maret
1960 itu.
”Orang yang menekuni olahraga tenis memiliki imej yang keren, terutama di depan lawan jenis. Mungkin gara-gara melihat saya main tenis, istri saya jadi kepincut. Makanya mau sama saya,” ujarnya sembari terkekeh.
”Orang yang menekuni olahraga tenis memiliki imej yang keren, terutama di depan lawan jenis. Mungkin gara-gara melihat saya main tenis, istri saya jadi kepincut. Makanya mau sama saya,” ujarnya sembari terkekeh.
Terlepas benar atau tidak perkiraan Powel, namun ia mengaku istrinya, Wiwid Sudarti merupakan sosok perempuan hebat. Walaupun hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi Powel mengaku istrinya jauh lebih kuat dari dirinya yang setiap hari mencari nafkah. Apalagi, sang istri merawat dan membesarkan tujuh anak dengan tangannya sendiri.
“Saya akui, istri saya ini orang hebat dan kuat. Dengan anak sebanyak ini, ia tak pernah terlihat lelah menjalani perannya. Apalagi saat anak-anak masih kecil. Setiap malam dia selalu bangun untuk membuatkan susu. Tapi paginya dia bangun paling awal untuk menyiapkan segala sesuatu tanpa terlihat lelah,” beber Powel.
Istri Powel juga tidak keberatan jika Powel membagi hatinya untuk tenis dan menghabiskan lebih banyak waktu di lapangan tenis dari pada di rumah. Tak hanya itu saja pengorbanan yang dilakukan oleh istri Powel. Ia juga rela pengeluaran keluarga banyak dianggarkan untuk tenis.
”Saat membawa anak-anak mengikuti kejuaraan, banyak biaya yang harus dikeluarkan. Istri saya tidak protes karena apa yang saya lakukan ini demi kebaikan anak-anak juga,” terang pria yang sempat ditugaskan di bagian satpol PP saat lapangan tenis Gajayana direnovasi. (nda/han)
Fokus Melatih Anak-anak
Hari-hari Powel di lapangan tenis saat ini lebih banyak disibukkan untuk melatih. Siswa didiknya bukan atlet-atlet yang mengejar prestasi melainkan adalah atlet pemula yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Powel mengaku, dirinya memang sengaja fokus untuk melatih anak SD karena kemampuannya belum sampai ke taraf pelatih atlet profesional.
”Saya sadar diri, meski sudah terjun di olahraga tenis sejak tahun 1970-an, tetapi ilmu saya masih terlalu dangkal. Saya lebih enjoy mengajar anak-anak yang ingin belajar tenis dari dasar daripada melatih atlet yang dipersiapkan untuk kejuaraan profesional,” ungkapnya jujur.
Meski demikian bukan berarti Powel tak pernah melatih atlet untuk kejuaraan. Di tahun 2011 ia pernah mendapat amanah untuk melatih tim tenis Kota Malang yang akan berlaga di Porprov III. Saat itu ia gagal mempertahankan medali emas untuk Kota Malang dan hanya bisa mempersembahkan medali perunggu.
”Saat itu saya akui memang gagal. Belajar dari pengalaman ini, saya lebih baik melatih anak-anak yang ingin belajar tenis dari dasar. Kalau untuk mempersiapkan diri menjelang kejuaraan, saya sarankan untuk mencari pelatih lain,” sambung suami Wiwid Sudarti ini.
Powel sendiri menjadi pelatih tenis sejak tahun 1995. Ia memutuskan untuk menjadi pelatih karena himpitan ekonomi. Jika hanya bergantung pada gaji pegawai golongan rendah, tentu saja penghasilannya tidak cukup. Apalagi anaknya sangat banyak.
Kali pertama menjadi pelatih, ia melatih di Kostrad Div II. Selain itu, Powel juga banyak diminta oleh sekolah untuk melatih kegiatan ekstrakurikuler olahraga tenis. Meski banyak order melatih namun saat itu Powel belum mengantongi lisensi kepelatihan. Powel baru mengantongi lisensi kepelatihan level 1 di tahun 2009.
Selain sibuk melatih di sana-sini, Powel juga mendirikan klub tenis sendiri yang dinamai Yanuar Tennis Club. Di klub yang hanya melatih anak-anak kecil ini Powel dibantu oleh anak-anaknya seperti Yanuar dan Oksar.
Bersama teman-teman pelatih tenis lainnya yang ada di lapangan tenis Gajayana, Powel juga mendirikan Perkumpulan Pelatih Tenis Stadion Gajayana. Ia dipercaya menjadi sekretaris di perkumpulan tersebut.
Copy Paste dari: http://www.malang-post.com
3 komentar:
Powel memang hebatttt
Mengingatkan dgn kisah pribadi Pak.... saya juga demikian. Sejak 2003 saya jadi ball boy - & sekarang saya mencoba berprofesi sebagai Pelatih pemula. Salam olah raga, salam satu hati, salam tenis, #Ayo tenis #Indonesia
luar biasa mas Powel. saya juga kurang lebih seperti itu perjalanan nya. tpi mgkn krna bisa lnjt kuliah. makanya bisa mengajar di skolah.tapi pada awalnya juga dari bekerja sebagai ball boy atau pengumpul bola. semoga mas cerita mas Powel ini bisa menginspirasi anak2 muda yg lainya.
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar,namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.