Sebagai seorang guru, saya berpikir pada diri
saya sendiri ‘apakah perlu saya menggunakan bahasa Inggris di dalam kelas’?
Kira-kira 5 tahun yang lalu, saya diundang beberapa sekolah untuk melatih para
guru untuk berbicara bahasa Inggris. Alasannya pun sangat sederhana, yaitu
sekolah ingin menjadi sekolah RSBI atau menjadi model sebuah sekolah yang
pengantar pembelajarannya dengan bahasa Inggris. Melalui tulisan ini saya ingin
berbagi pengalaman dan pandangan saya tentang perlu tidaknya sekolah
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran.
Tidak cukup lama para guru mengikuti program pelatihan kemampuan berbahasa Inggris, kira-kira 2-3 bulan saja. Semua guru bidang studi terlibat dalam pelatihan tersebut, dari latihan berbicara bahasa Inggris sederhana sampai latihan mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris. Menurut saya, waktu pelatihan selama 2-3 bulan meskipun intensive tidaklah cukup untuk membuat para guru yang tidak berlatar belakang guru bahasa Inggris tersebut bisa dengan cepat menguasai bahasa Inggris. Logika ini saya ambil dari hasil pengamatan saya terhadap beberapa guru bahasa Inggris yang ternyata tidak percaya diri (PD) untuk menggunakan bahasa Inggris di depan kelas apalagi para guru yang notabene bukan berlatar belakang bahasa Inggris. Bahkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berlatar belakang bahasa Inggris pun masih berjuang keras ketika harus memberikan presentasi dalam bahasa Inggris.
Tidak cukup lama para guru mengikuti program pelatihan kemampuan berbahasa Inggris, kira-kira 2-3 bulan saja. Semua guru bidang studi terlibat dalam pelatihan tersebut, dari latihan berbicara bahasa Inggris sederhana sampai latihan mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris. Menurut saya, waktu pelatihan selama 2-3 bulan meskipun intensive tidaklah cukup untuk membuat para guru yang tidak berlatar belakang guru bahasa Inggris tersebut bisa dengan cepat menguasai bahasa Inggris. Logika ini saya ambil dari hasil pengamatan saya terhadap beberapa guru bahasa Inggris yang ternyata tidak percaya diri (PD) untuk menggunakan bahasa Inggris di depan kelas apalagi para guru yang notabene bukan berlatar belakang bahasa Inggris. Bahkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berlatar belakang bahasa Inggris pun masih berjuang keras ketika harus memberikan presentasi dalam bahasa Inggris.
Penggunaan
bahasa Inggris dalam kegiatan KBM telah menjadi trend di beberapa sekolah
termasuk perguruan tinggi. Sebagai orang tua siswa tentu saya bangga dengan
kebijakan tersebut. Namun sebagai orang tua yang peduli dengan kualitas
pemahaman anak terhadap materi yang dipelajari dan diajarkan saya menjadi
kawatir anak-anak justru tidak memahami dengan baik materi yang diajarkan,
karena berjuang keras untuk belajar bahasa Inggrisnya.Dari analogi saya
tersebut bisa disimpulkan jika pembelajaran dengan bahasa pengantar bahasa
Inggris akan menggeser hakekat tujuan pembelajaran utama, misalnya anak-anak
dan guru tidak lagi fokus dengan isi atau kepadatan materi yang diajarkan namun
akan fokus dengan penggunaan bahasa Inggrisnya. Walhasil, pembelajaran sebuah mata
pelajaran apapun dimungkinkan akan bergeser menjadi belajar bahasa Inggris.
Perlu
kiranya kita mengambil sikap jika saat ini yang kita perlukan adalah berpikir
pada kualitas pembelajaran bukan lagi pada kualitas tampilan seperti apakah
gurunya berbahasa Inggris?, apakah sekolah mewajibkan gurunya berbahasa
Inggris?, apakah gurunya mengabsen kehadiran siswa?, apakah gurunya menggunakan
media pembelajaran yang tersedia? dan apakah gurunya berpakaian rapi? Menurut
saya, contoh-contoh yang saya sebutkan tersebut sudah seharusnya menjadi
perangkat wajib yang harus dikerjakan guru. Sudah saatnya sekolah dan guru
berpikir lebih maju dari sekedar urusan berkas dan formalitas dengan membawa
kegiatan KBM menjadi lebih bermakna.
Salah satu teori belajar yang mengatakan jika
suatu pembelajaran dikatakan berhasil jika siswa mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan tersebut dan mengaplikasikannya dalam konteks yang baru adalah SOLO
Taxonomy. Menurut SOLO Taxonomy yang dikenalkan oleh John Biggs (http://www.johnbiggs.com.au/solo_taxonomy.html)
kemampuan siswa tidak cukup hanya menyebutkan poin-poin yang dipelajari, namun
siswa harus mampu menghubungkan poin-poin tersebut dan mengembangkan poin-poin
tersebut sampai pada tataran kemampun untuk menambahkan poin baru atau
mengaplikasikannya pada konteks yang berbeda. Menurut John Biggs ada 4 tahapan
untuk mengukur keberhasilan belajar: (1) Uni-Structural; (2) Multistructural;
(3) Relational; dan (4) Extended abstract. Jadi sudah saatnya sekolah dan guru
tidak lagi berkutetan dengan formalitas atau aspek penampilan luar, tetapi
sudah saatnya untuk melihat bagaimana anak-anak memproses informasi atau materi
yang diajarkan di kelas. Perlu kiranya untuk bertanya, apakah siswa-siswa
benar-benar belajar ketika duduk manis di dalam kelas? Apakah pikiran-pikiran siswa benar-benar
terfokus pada materi yang diajarkan? Apakah guru benar-benar membuat siswa
berpikir?
Saya
memiliki pemahaman jika KBM yang ramai dengan siswa senang belum tentu menjadi
indikator utama guru berhasil dalam melakukan KBM. Apalah artinya murid senang,
kelas riuh gembira tetapi muridnya tidak memahami materi yang dipelajari?
Apalah artinya KBM kelihatan trendy dan modern dengan menggunakan bahasa
Inggris tetapi siswa tidak memahami materi yang dipelajari? Apalah artinya
siswa duduk manis di dalam kelas tetapi isi kepalanya tidak fokus memikirkan
isi materi pelajaran? Akhirnya KBM selesai dan bel berbunyi, siswa tidak
mendapatkan sesuati bermakna dari materi atau isi pelajaran, kecuali hati
senang. Analogi saya adalah kita senang karena perut kenyang, tetapi yang kita
makan bukanlah makanan bergizi kecuali hanya nasi putih dan garam saja yang
jauh dari empat sehat lima sempurna.
Nah,
lepas dari kebijakan pemerintah tentang penggunaan bahasa seperti yang
tercantum dalam Permen No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah
Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah maupun
trend yang terjadi di masyarakat, menurut saya sangat perlu sekolah dan guru
untuk memikirkan baik-baik ketika akan menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar dalam pembelajaran sehingga tujuan utama belajar tidak
mengalami pergeseran.
Silahkan membaca tulisan saya tentang kualitas dan guru dan hasil pembelajarannya http://subekti.com/2012/03/21/benarkan-guru-hebat-melahirkan-siswa-heb
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar,namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.