Peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2001, hari ini diperingati serentak di seluruh Indonesia, di Jakarta upacara peringatan HAORNAS digelar di halaman Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Tema peringatan Haornas 2011 kali ini adalah "Satu Indonesia, Bangkit dan Maju". Dengan tema ini, kita ingin olahraga semakin maju dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa pada bidang-bidang lain seperti ekonomi, demokrasi dan teknologi.
Di tengah-tengah kemerosotan prestasi para atlet kita, masih pantaskah kita merayakannya? Banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Bukan hanya oleh atlet, pelatih dan para pembina olahraga. Pemerintah dan masyarakat juga memiliki tanggung jawab yang sama.
Peringatan Haornas pertama kali diselenggarakan pada 9 September 1983. Tanggal tersebut sengaja dipilih untuk mengenang sejarah diselenggarakannya Pekan Olahraga Nasional (PON) edisi perdana. PON I digelar 9-12 September 1948, di Solo, melibatkan tak kurang dari 600 atlet yang bertanding dalam sembilan cabang olahraga.
Kesuksesan menggelar PON hanya tiga tahun setelah kita memproklamasikan kemerdekaan adalah sebuah prestasi istimewa. Melalui ajang ini, Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Di tengah situasi keamanan nasional yang belum sepenuhnya terjamin, kita mampu menggelar pesta olahraga nasional.
Olahraga memang menjadi instrumen penting bagi pembangunan karakter bangsa Indonesia (national character building). Di tahun 1962, Indonesia kembali menjadi pusat perhatian dunia saat sukses menjadi tuan rumah Asian Games. Hanya setahun berselang, kita kembali membuat buah bibir lantaran menggelar Games of New Emerging Forces (Ganefo).
Ajang multicabang itu memang dimaksudkan untuk menjadi ‘olimpiade tandingan’. Betapa tidak? Ganefo diikuti oleh 2.200 atlet dari 48 negara. Ganefo adalah alat propaganda Soekarno dalam menyebarkan konsepsinya mengenai dualisme kekuatan dunia saat itu, Oldefo (Old Established Forces) dan Nefo (New Emerging Forces). Pemicu lain adalah keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk mengeluarkan Indonesia dari keanggotaannya setelah kita menentang kepesertaan Israel dan Taiwan dalam Asian Games.
Tumbangnya kekuasaan Soekarno dan berkuasanya rezim Orde Baru tidak berarti perhatian terhadap olahraga menurun. Penetapan tanggal 9 September sebagai Haornas adalah salah satu bukti bahwa Soeharto juga concern dengan olahraga.
Bukti lain yang tak terbantahkan adalah prestasi kita di Sea Games. Sejak pertama kali berpartisipasi pada 1977, Indonesia sudah sembilan kali menjadi juara. Dan yang mengejutkan, semua gelar prestisius itu kita raih di periode kepemimpinan Pak Harto. Pasca runtuhnya Orde Baru, kita belum berhasil mengulangi prestasi manis itu.
Di Olimpiade Seoul 1988, akhirnya Sang Merah Putih bisa berkibar. Tapi, kala itu Indonesia baru bisa meraih medali perak melalui cabang panahan nomor beregu putri. Empat tahun berselang, momen bersejarah akhirnya datang saat Susy Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan dua medali emas di Olimpiade Atlanta. Sejak itu, bulutangkis tak pernah absen menyumbang medali emas bagi Indonesia dalam tiga penyelenggaraan Olimpiade (Sidney 2000, Athena 2004 dan Beijing 2008).
Entah kebetulan atau tidak, pasca reformasi politik yang terjadi di tanah air pada 1998, prestasi olahraga Indonesia cenderung menurun. Betul bahwa medali emas olimpiade bisa kita pertahankan, tapi tak bisa dimungkiri bahwa atlet bulutangkis kita semakin sulit mengimbangi persaingan atlet-atlet mancanegara. Hal ini bisa dilihat dari pencapaian anak-anak Cipayung di berbagai turnamen bulutangkis, baik beregu maupun perseorangan.
Prestasi Indonesia di Asian Games (AG) juga sempat menunjukkan tren penurunan, dari posisi ke-11 pada AG 1998, menjadi peringkat 14 di AG 2002 dan posisi ke-22 di AG 2006. Untungnya pada AG 2010 lalu kita bisa merangkak naik kembali ke posisi 15 dari 45 negara peserta.
Sementara itu, dalam enam kali penyelenggaraan Sea Games terakhir, kita juga kesulitan mengembalikan supremasi. Lima kali Indonesia harus puas duduk di urutan ketiga (1999, 2001, 2003, 2007 dan 2009), dan sekali terpuruk di peringkat lima (2005). Kejayaan kita di masa lalu seolah tak berbekas.
Berbagai fakta tersebut seharusnya menyadarkan para pembina olahraga di Indonesia, suatu perubahan revolusioner harus dilakukan. Kita sudah tertinggal beberapa langkah di banding negara-negara tetangga. Jika kita hanya jalan di tempat jangan harap ada peningkatan raihan prestasi.
Perubahan paradigma jadul harus dilakukan. Era sport science sudah bukan lagi sekadar wacana. Kemajuan ilmu teknologi sudah dimanfaatkan negara lain untuk mendukun peningkatan prestasi olahraga. Para pengurus induk organisasi olahraga jangan lagi hanya menunggu berkah dari langit, munculnya atlet berbakat.
Alangkah baiknya jika peringatan haornas ke-28 ini menjadi momentum kebangkitan prestasi olahraga kita di level dunia. Sudah 27 kali kita melalui haornas hanya sebagai sebuah seremonial belaka. Slogan “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga” yang 28 tahun lalu digemakan oleh Soeharto harus direalisasikan.
Salah satu masalah klasik mandeknya prestasi kita adalah lemahnya pondasi pembinaan olahraga di tanah air. Pembibitan olahraga adalah tahapan penting dalam pembinaan prestasi olahraga karena merupakan pondasi dari bangunan sistem pembinaan prestasi olahraga. Dalam proses pembibitan ini peran serta masyarakat mutlak dibutuhkan.
Jika masyarakat sudah ‘diolahragakan’ dan olahraga sudah ‘memasyarakat’, pembibitan bakat-bakat potensial niscaya akan lebih mudah. Well, pada akhirnya kita memang tidak bisa cuma mengandalkan pemerintah tapi juga harus turut mengambil peran dalam upaya menggelorakan semangat dan prestasi olahraga nasional.
Selamat Hari Olahraga Nasional!