HIRUK-PIKUK PORPROV di Daerah-daerah sungguh menarik untuk disimak. Betapa tidak? Ketidaksiapan infrastruktur di pihak tuan rumah, termasuk bagaimana para ‘penggede’ KONI menghadapinya, dapat menjadi petunjuk menarik, tentang bagaimana kita menata olahraga selama ini.
Petunjuk pertama, betapa selama ini pemerintah (baik propinsi maupun kota dan kabupaten) kurang memprioritaskan pembangunan olahraga dan pembangunan di bidang olahraga. Buktinya, hingga memasuki abad 21 ini banyak daerah yang tidak memiliki infrastruktur yang memadai sekedar untuk menyelenggarakan event olahraga setingkat Porprov (dulu PORDA).
Kenyataan demikian sungguh memprihatinkan, karena hal itu membuktikan bahwa olahraga belum dipandang sebagai alat strategis untuk menumbuhkan modal sosial (
social capital) dan elan vital masyarakat menuju masyarakat madani. Kita sungguh sudah jauh tertinggal oleh negara lain, yang sudah memperhitungkan nilai potensial olahraga dalam hampir berbagai aspek kehidupan.
Sudah selayaknya pemerintah memperhitungkan nilai strategis olahraga bagi upaya rekonstruksi sosial dan lingkungan (
eco-sport), sehingga keyakinan itu tercermin dari kesungguhan pemerintah mempersiapkan infrastruktur olahraga secara terencana dan berkelanjutan. Pembangunan olahraga sudah sepantasnya masuk ke dalam perencanaan menyeluruh pembangunan kota dan daerah secara terpadu.
Jika tidak, pembangunan infrastruktur olahraga hanya dilakukan sebagai reaksi sesaat karena ingin menjadi tuan rumah suatu event. Akibatnya, perencanaan lokasi dan disainnya sekedar asal jadi, yang berdampak pada kurang terpenuhinya prinsip
sustainability dalam pembangunannya. Terlantarnya stadion eks-Porda adalah bukti pendekatan demikian.
Petunjuk berikutnya menyatakan, betapa olahraga kita belum dimanfaatkan untuk menumbuhkan ilmu dan SDM unggul di dalam lingkup olahraga sendiri. Akibat pola pikir yang relatif tidak berkembang dari tahun ke tahun, ilmu dan praksis olahraga di perguruan tinggi (PT) pun tidak jauh dari upaya mencetak guru dan pelatih olahraga semata.
Sebagai dampaknya, hingga sekarang kita tidak memiliki kepakaran dalam ilmu olahraga yang berkaitan dengan sarana dan prasarana olahraga, olahraga dan lingkungan hidup, manajemen olahraga, bisnis olahraga, teknologi olahraga, serta berbagai disiplin ilmu olahraga seperti sosiologi olahraga, filsafat olahraga,
sport pedagogy, dan
sport psychology.
Menjadikan ilmu-ilmu tematis di atas sebagai kepakaran, tentu perlu didukung oleh lahirnya program studi atau konsentrasi baru di PT kita. Sayangnya PT kita pun lebih cenderung menunggu, dengan alasan belum dibutuhkan masyarakat. Seharusnya, justru PT mampu mendorong tumbuhnya kebutuhan masyarakat melalui visi yang mampu diteropong oleh para akademisinya.
Kepakaran di bidang olahraga bisa tumbuh subur jika ditunjang oleh hadirnya laboratorium dari masing-masing bidang keilmuan. Di negara maju, laboratorium tersebut dipusatkan di setiap stadion yang ada, sehingga berguna baik bagi pengembangan batang tubuh keilmuan maupun bagi kepentingan pragmatis prestasi olahraga.
Dua simpulan di atas merupakan benang merah utama dari kelemahan olahraga di Indonesia selama ini, di samping pernak-pernik kelemahan lainnya. Jika Jawa Barat ingin unggul dalam bidang olahraga, dua kelemahan di atas harus pertamatama diurai terlebih dahulu, dengan menata potensi yang dimiliki. Hal ini merupakan keniscayaan agar daerah tidak selalu direpotkan soal persiapan PORPROV, yang lebih merupakan pemborosan semata-mata daripada sebagai upaya pemberdayaan daerah.
Mewujudkan hal itu tentu memerlukan sebuah strategi pencapaian. Pada era otonomi daerah dewasa ini, setiap kabupaten atau kota akan memandang penting prioritas pendidikan, khususnya dikaitkan dengan mempersiapkan SDM unggul bagi pembangunan daerahnya. Ke depan, niscaya daerah akan memandang perlu mendirikan perguruan tinggi negeri di masing-masing daerah, sebagai upaya mengakselerasi pembangunan di segala bidang.
Pembangunan olahraga, terutama infrastrukturnya, dapat dikaitkan juga dengan upaya mempersiapkan SDM tersebut. Alangkah ideal jika pembangunan infrastruktur olahraga bisa dititipkan pada pembangunan infrastruktur pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Jika kelak setiap pemerintah kota/kabupaten memiliki universitas negerinya masing-masing, maka di lokasi itu pulalah berdiri fasilitas olahraga yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan event setingkat PORPROV.
Sisi positif dari format demikian ada dua. Pertama, universitas yang bersangkutan terangkat prestisenya karena didukung fasilitas olahraga yang memadai, kedua, universitas pun mampu memberikan sumbangan bermakna dalam perkembangan ilmu, SDM, dan prestasi olahraga bagi daerah.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi kasus di mana sebuah stadion atau fasilitas olahraga ‘merana’ akibat tidak ada yang memanfaatkannya. Yang terlebih penting, itulah sebenarnya makna pemberdayaan olahraga bagi daerah dan bagi masyarakatnya, sehingga terbuktikan bahwa olahraga memang bermakna bagi kemaslahatan masyarakat.
Penulis; AGUS MAHENDRA,