“Pulang sekolah nanti, setelah sholat dan makan kamu langsung menyusul ibu di sungai
. Ada pesanan pasir batu kerekel dua truck besok. Jangan lupa membawa sekop dan palunya,” pesan ibuku saat aku berpamitan berangkat sekolah.
“Iya, Bu,” jawabku singkat.
Pesan seperti itu selalu aku terima saat aku berpamitan berangkat ke sekolah. Aku lalu menyusuri jalanan tanah berdebu tanpa di aspal di desaku. Ya, karena memang sampai hari ini pembangunan seperti di kota-kota tidak pernah sampai ke desaku. Kulihat dari kejauhan bapakku dan beberapa orang sudah melakukan pekerjaannya sebagai pengeruk pasir. “Heh...,”aku mengambil napas panjang. Ada perasaan tidak enak melihat begitu berat pekerjaan yang harus dilakukan bapak. Ia harus menyelam, mengais-ngais, mengangkat pasir ke atas sampan dan mengangkut pasir ke pinggir sungai lalu meneruskannya ke atas truck untuk mendapat uang beberapa puluh ribu. Kadang-kadang dia mencari batu kali untuk tambahan penghasilan. Begitupun pekerjaan ibuku, jika sedang ada pesanan dalam jumlah banyak seperti saat ini, ibu memecah batu kali yang besarnya segenggam menjadi batu kerekel istilah di kampung kami. Entah mengapa pasir, batu kali dan batu kerekel tiada habis-habisnya walau setiap hari orang-orang di kampung kami mengambilnya. Mungkin begitulah Tuhan memberi rezeki pada hambaNya.
Siang harinya sepulang sekolah, aku cepat-cepat pulang, sholat dan makan, lalu bersiap-siap menyusul ibu di tepi sungai. Setiba disana, aku melihat kakak dan ibuku duduk di bawah atap yang terbuat dari daun ilalang. Mereka tampak lelah dan kepanasan. Memang, udara terasa sangat panas siang itu. Di sungai, aku melihat beberapa orang mencari pasir dan batu kali. Tidak memandang laki-laki atau perempuan dalam pekerjaan itu. Mereka menggambil pasir dan batu sungai lalu membawanya ke tepian sungai dan menatanya menjadi tumpukan yang rapi sekali. Sedikit demi sedikit pencari pasir menumpahkan hasil cariannya di tepian sungai hingga menjadi gundukan besar.
Tumpukan batu menyambut kedatanganku.
“Maman cepat, bantu kakakmu. Besok pasirnya akan diambil oleh pemesannya,” kata ibu begitu aku duduk.
Kakak diam saja tanpa bicara. Kakakku lebih tua lima tahun dariku.O ya, aku perkenalkan nama kakakku adalah Masdi. Setelah lulus SMP, dia tidak melanjutkan sekolah. Sehari-hari dia hanya mengeruk pasir dari dasar sungai dan mencari batu lalu memecahnya dengan palu. Sebenarnya ibu dan bapak menyuruhnya sekolah, tetapi dia tidak mau. Katanya, sekolah itu sulit, dan lebih enak mencari uang. Selain itu, kakak tahu benar keadaan orangtua yang pastinya sangat berat membayar biaya pendidikan yang mahal.
Aku pun segera mengambil batu. Kali ini aku tidak turun ke sungai untuk menyelam mencari pasir karena bapak melarang aku dan bapak menyuruh aku membantu ibu saja memecahkan batu menjadi kerekel karena nanti sore orang yang memesannya akan segera mengambilnya. Satu demi satu aku pecahkan batu sehingga menjadi kerekel. Aku memukul dengan cepat sekali agar pekerjaan ini cepat selesai.
“Aaaawwww,” pekikku terkejut.
Tanpa sengaja, palu menghantam jari-jariku dengan keras.
Kakak dan ibu terkejut.
“Ada apa Maman?” tanya ibuku.
“Tangan saya terkena palu, Bu,” jawabku menahan rasa sakit.
“Baru saja mulai, kamu sudah kerkena palu. Aku dan ibu sudah mulai sejak pagi tadi tapi tidak ada masalah,” ucap kakakku.
“Ya, Kak, maunya cepat-cepat biar cepat selesai, eh malah terpukul.”
“Makanya kalau bekerja jangan setengah hati,” kata kakakku lagi.
“Ya, ya. Aku sungguh-sungguh.” Aku tidak tega melihat wajah ibu dan kakak yang begitu letih bekerja seharian, bagaimanapun aku harus membantunya.
“Hati-hati,” pesan ibu.
Aku mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku. Walaupun jariku terasa sakit karena memar, tapi aku paksakan juga memecah batu. Sore harinya, barulah kami pulang walau belum selesai memecah batu semuanya. Ibu memperkirakan jumlah kerekelnya sudah hampir satu truck.
Setiba di rumah, hari sudah gelap. Aku melihat wajah bapakku tampak tua dan letih. Bapak telah berusaha keras dengan susah payah menghidupi kami sekeluarga. Bapak dan ibu membanting tulang agar kami dapat bertahan walau hidup sederhana. Bahkan bapak telah memberiku kesempatan untuk menuntut ilmu di bangku sekolah.
***
“Tanganmu kenapa, Man?” tanya Juki saat melihat tanganku yang berwarna hitam kebiruan.
“Kemarin tanganku terkena palu saat aku memecah batu,” jawabku.
“Kukuku juga pernah terkena palu, bahkan lepas. Ini bekasnya masih ada,” kata Juki sambil menunjukkan jarinya yang tiada berkuku. “Tapi kejadian itu justru memberiku ilham,” ucap Juki.
“Ilham apa?” tanya Pendi heran.
“Suatu saat nanti, aku ingin memiliki mesin pemecah batu. Seperti parut kelapa, beras dan ketela itu, tetapi yang diparut batu. Jadi, aku dan orangtuaku tidak perlu lagi memukul batu melainkan tinggal memasukkannya ke dalam alat itu dan keluarnya sudah menjadi kerekel.”
“Bisa jadi yang keluar tepung batu,” sela Pendi.
“Ha...ha...ha...,” kami tertawa serentak.
“Idemu hebat, Juki. Orang-orang sini tidak lagi harus kepanasan dan duduk seharian sambil memecah batu,” ucapku.
“Terus apa pekerjaan orang-orang nanti kalau sudah ada mesin pemecah batumu?” tanya Pendi.
“Ya, mereka bisa tetap menjadi pencari batu tetapi tidak perlu lagi memecahnya tinggal menggundang saya dan memberi saya upah,” jawab Juki.
“Bisa jadi penghasilan orang-orang menurun karena harus membayar kamu,” protes Pendi.
“Tidak mahal kok. Harganya harus lebih murah dari pada memberi ongkos orang yang memecah batu seharian dan lebih cepat lagi,” bela Juki.
“Kalau aku, aku ingin menciptakan mesin yang bisa menggali, mengeruk dan menyedot pasir sehingga bapak dan orang-orang sini tidak perlu melakukan pekerjaan itu. Mereka tinggal menjualnya saja dan mendapatkan uang yang banyak karena dalam sehari mesin itu bisa menghasilkan pasir yang banyak. Mereka tidak perlu menyelam dan berendam lagi setiap hari sehingga kulit mereka tidak hitam lagi,” tuturku.
“Idemu juga hebat, Man. Jadi kamu ingin menjadi penjual pasir seperti bapakmu? Apa kalian tidak bercita-cita menjadi guru, dokter, penulis, pegawai negeri atau apapun yang lebih baik dari orangtua kita?” sela Pendi.
“Ya tentu saja. Kalau orang tua kita mempunyai banyak uang kan bisa menyekolahkan kita sampai kuliah. Kalau terus-terusan pekerjaannya mengeruk pasir dan menjadi pemecah batu, bagaimana kita bisa sekolah yang tinggi?” bela Juki.
“Tapi kapan cita-citamu itu terwujud?” tanya Pendi lagi.
“Ya, nanti dulu, masih lama. Sekarang aku masih mau sekolah dulu yang sungguh-sungguh. Aku mau belajar yang rajin agar nanti bisa merancang alat yang canggih sehingga desa kita menjadi penghasil pasir dan kerekel yang besar,” tutur Juki.
“Wah, masih lama dong, ha...ha...ha...,” kami pun tertawa mendengarnya.
“Kalau kamu, apa cita-citamu, Pendi?” tanyaku pada Pendi.
“Aku ingin menjadi guru seperti Pak Umar. Pak Umar cara mengajarnya enak sekali, aku betul-betul mengaguminya. Dia selalu memberi kita semangat sehingga aku tidak takut bercita-cita,” tutur Pendi penuh penghayatan.
Siang itu kami melangkah pulang dengan gembira. Rasa lelah sepulang sekolah kini telah sirna. Dalam hati kami masing-masing kini terbesit satu tekad yang kuat. Kami ingin belajar dengan sungguh-sungguh. Kami ingin sekolah yang tinggi, walau orang tua kami adalah tukang pencari pasir dan batu sungai dan pemecah batu kali untuk dijadikan kerekel, tetapi kami tidak boleh berhenti bercita-cita. Kami harus bisa mewujudkan cita-cita kami. Kami tidak boleh menyerah pada keadaan. Kami yakin jika ada niat yang kuat pasti ada jalan. Kami tidak boleh berhenti berusaha memperbaiki kehidupan. Kami harus terus bekerja membantu orang tua dan belajar yang tekun. Kami tidak serapuh batu sungai yang mudah dipecah. Tekad kami sekuat baja dan batu karang di lautan.
$$$$