Natural, Informative And Educative

Natural, Informative And Educative
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA YANG KE 75, SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA, MARHABAN YA MUHARRAM. SELAMAT MEMASUKI TAHUN BARU ISLAM 1442 H" Mohon maaf lahir batin

Jumat, 28 Oktober 2011

GENERATION I DON'T CARE

Share

     Hari ini tanggal 28 Oktober 2011 diperingati hari sumpah pemuda ke-83. Hari Sumpah Pemuda yang jatuh setiap 28 Oktober adalah momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada 28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia mengikrarkan persatuan dan kesatuan bangsa di tengah-tengah penjajahan. Sumpah Pemuda yang lahir dari Kongres Pemuda II, menjadi bagian dari proses konsolidasi kebangsaan menuju cita-cita Indonesia merdeka.
Sumpah Pemuda telah berhasil menyatukan langkah seluruh bangsa Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme ketika itu dan memberikan semangat dan motivasi baru bagi bangsa untuk memperjuangkan nasib dan eksistensi sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.
Tak terasa tahun 2011 ini juga telah berlalu 13 tahun semenjak Pemuda/Mahasiswa turun ke jalan  bersama masyarakat menuntut perubahan terencana terhadap sistem sosial budaya dan politi. Titik sejarah ini penting, karena menyangkut niat dan kemauan untuk membawa bangsa ini mau ke jenis, lalu bentuk peradaban yang bagaimana? Berbicara tentang masa depan, karena kita tak bisa melepaskan diri dari wacana tentang generasi muda, yang selalu jadi bumper terakhir carut-marut zaman
Secara umum dapat dikatakan, generasi yang “berhasil” memotori tumbangnya era Soeharto, lahir sejak kurun waktu 1972-1979. pertimbangan utamanya adalah peraturan umum di seluruh Perguruan Tinggi, terutama negeri, periode masa studi bagi mahasiswa maksimal 7 tahun.
Jika diandaikan pada tahun 1998 mahasiswa paling yunior berumur 19 tahun, maka yang tertua berusia 19 ditambah 7 tahun sama dengan 26 tahun. Alhasil, usia tertua mahasiswa yang turun ke jalan dan meneriakkan kata-kata “turunkan Soeharto pada bulan-bulan sekitar Mei 1998 adalah lahir tahun 1972”.
Jika kita teliti, sebuah ulasan budaya yang dimuat di Koran Tempo pada tahun 2001 tentang fenomena lahirnya generasi baru dalam konteks kebudayaan dan sejarah konteporer. Mereka diklasifikasikan ke dalam beberapa indikator. Angkatan 1960-an diindikasikan dengan fenomena baby boomers, kala di berbagai penjuru dunia terjadi ledakan penduduk akibat euphoria sehabis perang dunia ke-II. Angkatan ini, yang lahir pada kurun 1960-1970, adalah bayi-bayi yang dilahirkan oleh “generasi bunga”. Generasi bunga adalah yang lahir pada kurun 1940-1950, yang mengalami secara langsung kekejaman perang dunia ke-II, namun belum memiliki kesadaran langsung akan sebuah krisis, sebab umur mereka yang masih terlalu kecil (masih balita atau sedikit di atas balita) untuk memahami situasi. Ketika mereka menginjak puberitas, memasuki usia produktif, perang dunia ke-II telah selesai dan diseluruh penjuru dunia mengalami pemulihan akibat kehancuran perang, industrialisasi meningkat pesat, pasar global mulai bergairah, maka secara kebudayaan massa generasi muda pada masa 1960-1970 itu mengalami wabah eskapisme dan katarsis besar-besaran terhadap kebudayaan populer. Maka, pada zaman inilah lahir dan tumbuh the Beatles, Deep Purple, Rolling Stones, dan kawan-kawan. Di negara kita lahir dan berkembang Koes Plus, Panbers, dan lainnya. Goyang Rock ‘n Roll jadi trade mark anak gaul di masa itu. Celana berlingkar besar pada ujung bawah jadi ciri-ciri dan identitas generasi muda. Generasi Baby Boomers ini dinamakan juga X-generation, generasi X. salah satu produk sukses dari generasi ini adalah Bill Gates, raja perangkat lunak komputer dunia.
Generasi X alias Baby-Boomers inilah yang melahirkan generasi 1970-1980-an. Secara agak terburu-buru generasi ini dilabeli generasi Y. ciri-ciri utama generasi ini adalah: mulai memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi, kritis dan kreatif, serta memiliki militansi yang tinggi. Identitas mereka ini dipengaruhi situasi dunia pada saat mereka mulai puberitas, yaitu kurun waktu 1980-1990-an, saat dimana dunia mulai mengalami krisis di sana-sini, mulai dari krisis ketersediaan bahan mineral, ekonomi, sampai moral. Di era ini wabah AIDS menjadi hantu paling menakutkan, perang di sana-sini dan pertentangan antara kubu barat (Amerika Serikat) dan timur (Uni Sovyet) mencapai puncaknya. Perlawanan tokoh-tokoh prodemokrasi diberbagai negara, dari Nelson Mandela sampai Lech Walesa, dari Che Guevara sampai Aung San Syu Kyi, juga turut mengilhami mereka. Ketakutan akan hancurnya bumi oleh manusia yang tidak becus mengurus bumi membuat generasi muda di mana-mana bangkit, seperti yang pernah terjadi di Amerika Selatan di awal abad 20 (1900-1930). Seperti efek domino, fenomena tersebut menjalar juga ke Indonesia. Dan 21 Mei 1998 itulah puncaknya, saat generasi Y tidak bisa lagi menahan amarah, segala yang dianggap menyimpang dari kehendak hati nurani zaman diterobos, rezim Soeharto tumbang (meski saat itu ternyata belum sepenunhnya tumbang akibat masih banyaknya Soeharto-Soeharto baru bertengger di posisi-posisi strategis bangsa).
Kini, generasi Y sudah mulai dewasa. Kebanyakan mereka sudah enak duduk di kursi empuk jabatan. Tak sedikit yang kini jadi anggota DPRD bahkan DPR. Ada yang menjadi bagian dari struktur pemerintah. Ada yang sengaja menjauh dari sistem atau membuat “sistem” sendiri lewat kewirausahaannya. Ada yang tidak memiliki gaung apa-apa lagi. Generasi telah berganti. Tahun 1998 saya dan teman-teman tidak satupun yang menenteng HP (Hand Phone) sibuk mengirim dan menerima SMS.
Jika ingin mengetik yang agak mewah, mesti pergi ke rental komputer dengan program WS atau Lotus. Kini zaman bergerak maju. Generasi Z, yang lahir pada kurun 1980-1990-an adalah generasi yang sangat melek teknologi. Di Jakarta generasi ABG (Anak Baru Gede), yang berusia 12-17 tahun (berarti masuk generasi Z juga) adalah generasi Sinetron dan internet yang menjadikan Sinetron dan internet sebagai nabi mereka sehari-hari. Jika pada sebuah sinetron diceritakan tentang kegilaan anak ABG pada situs jejaring sosial FB (Face Book), maka di kehidupan nyata kejadiannya juga begitu. Akibat perkembangan cepat teknologi  informasi dan komunikasi maka guru, nabi, dan orang tua generasi Z adalah media massa beserta segenap perangkatnya. Segala-galanya diukur dari sejauh mana ia mampu  memberikan hiburan dan ekstase yang memabukan. Anak-anak usia balita tak lagi suka mengerjakan PR, tapi main game online di warnet-warnet.
Efek negatif dari ini semua adalah bermetamorfosisnya generasi Z menjadi generasi I don’t Care. Maka lihatlah, anak-anak SMA dan Mahasiswa kini tak lagi peduli pada lingkungan sosialnya, cepat lupa pada harga BBM, koruptor yang semakin menggurita, kasus mafia hukum yang hanya di demonstrasi sebentar. Mereka sibuk dengan individu sendiri, individualisme jadi ritual sehari-hari. Apa yang diarahkan oleh media dalam wacana pemberitaan sehari-hari jadi kitab yang musti di pedomani. Maka jangan heran narkoba masih jadi santapan utama. Hukum tidak akan mampu memberantas jika “agama” hiburan tetap mengalahkan agama yang formal dan legal. Maka, jangan frustasi jika anak-anak yang diwajibkan ikut didikan subuh, tetap saja tak paham arti ayat-ayat Al Qur’an serta implementasi sehari-hari. Karena mereka tidak pernah dihadapkan pada contoh nyata suri tauladan yang baik. Kepada siapa mau meniru akhlak yang baik, jika pemimpin tetap korupsi? Siapa yang jadi panutan kalau Ustadz justru cabul pada jamaahnya kasus seperti ini banyak terjadi di beberap tempat.
Jika kita mau jujur, generasi I Don’t Care-lah (atau generasi cuek) generasi muda kita sekarang. Di sekolah dan kampus pergurun tinggi  sangat sulit untuk memancing siswa atau mahasiswa beropini terhadap suatu fenomena sosial. Ini masih taraf beropini, belum taraf  bagaimana mereka memformulasi solusi. Mereka tidak paham, bahwa kemampuan mengapresiasi dan bersikap terhadap segala ketimpangan adalah modal paling utama bagi calon intelektual. Jika sikap  kritis dikalangan  mahasiswa hilang, maka militansi mahasiswa juga tidak akan pernah eksis lagi. Maka, saya tidak akan kaget jika orde reformasi yang sekarang masih kita perjuangkan kemurniannya, suatu waktu kelak, tak akan lama dari kini, kan kehilangan rohnya. Jika para pimpinan suatu  sistem korup, berkolusi, dan bernepotisme, maka dijamin tidak ada yang peduli, I don’t care! Jika di jalan ada anak-anak jalanan, maka sebagai mahasiswa apalagi aktifis sulit untuk bisa dilihat responnya. Paling-paling akan berucap: “gue yang penting kuliah, dan cepat dapat kerja, gitu loh!”
(di tulis M. Isa Gautama, dlm surat kabar kampus Ganto th 2005)

PERNAH ROMANTIS…

Share

   Simaklah Kasih… Kutipan-kutipan kata hatiku, yang kutulis setiap rasa sepi dan rindu itu datang. Dan sekarang di hari jadimu kupersembahkan tuk dongeng sebelum tidur, diawal umurmu yang 20-an.

“Malam ini…. Aku sendiri, tanpa dirimu..memeluk aku. Kasih, kau dimana…, ku ingin bertemu, ungkapkan semua rasa rinduku. Haruskah aku berlari… mengejarmu ?”

Baru kini ku sadari, betapa ku butuh akan dirimu. Kesunyian seperti malam ini, seperti ku rindu bayangan dirimu.
       “ku coba memahami hasratku kini, …..    …..            ….. - .. merasakan manisnya cinta darimu. Basuhkan kasih sayang. Jiwa ragaku, ku pasrahkan semua.

       Hidup ini takkan indah tanpa kau ada di hati. Cinta ini takkan ada tanpa kau ada di sisi. Kekasihku, kau bunga mimpiku, tiada yang lain hanya dirimu. Kau ku sayang dan slalu ku kenang, kan slalu bersama dalam suka dan duka. Rasanya tak mungkin dikau kusakiti dan ku khianati, karena kamu terlalu baik bagiku.

            “ Hari kian bergulir. Makin dekat dirimu dihatiku. Meskipun tak terucapkan, ku merasakan dalamnya CINTAMOE. Jangan berhenti mencintaimu, meski mentari berhenti bersinar.
         
Jangan berubah sedikitpun. Di dalam cintamu .. ku temukan bahagia,. Jalan mungkin berliku, takkan lelah bila di sampingmu. Semakin ku mengenalmu jelas terlihat pintu masa depan. Semoga tiada berakhir, bersemi selamanya..”

            “ Segala rasa cintaku telah kuberi hingga terbelah. Hatiku ini hanya untukmu. Takkan ada yang lain, duhai kasih, kaulah satu. Janji kita slalu, tak mungkin bagi masa menghapus (bersama kan selalu merajut hari, engkau dan aku).”

Senin, 17 Oktober 2011

WAJAH SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Share

    Kita sebagai orang tua seringkali mengikutkan anak kita berbagai macam les tambahan di luar sekolah seperti les matematika, les bahasa inggris, les fisika dan lain-lain. Saya yakin hal ini kita dilakukan untuk mendukung anak agar tidak tertinggal atau menjadi yang unggul di sekolah. Bahkan, terkadang ide awal mengikuti les tersebut tidak datang dari si anak, namun datang dari kita sebagai orang tua. Benar tidak?
Memang, saat ini kita menganggap tidak cukup jika anak kita hanya belajar di sekolah saja, sehingga kita mengikutkan anak kita bermacam-macam les. Kita ingin anak kita pintar berhitung, kita ingin anak kita mahir berbahasa inggris, kita juga ingin anak kita jago fisika dan lain sebagainya. Dengan begitu, anak memiliki kemampuan kognitif yang baik.
Ini tiada lain karena, pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah juga menuntut untuk memaksimalkan kecakapan dan kemampuan kognisi. Dengan pemahaman seperti itu, sebenarnya ada hal lain dari anak yang tak kalah penting yang tanpa kita sadari telah terabaikan. Apa itu? Yaitu memberikan pendidikan karakter pada anak didik. Saya mengatakan hal ini bukan berarti pendidikan kognitif tidak penting, bukan seperti itu!
Maksud saya, pendidikan karakter penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif. Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.

Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter anak didik. Lalu apa sih pendidikan karaker itu?
Jadi, Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Saya mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foerster. Pertama, pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut. Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.
Berpijak pada empat ciri dasar pendidikan karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam pola pendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anak didik akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Kalau menurut saya, sebenarnya yang terpenting bukan pilihannnya, namun kemampuan memilih kita dan pertanggungjawaban kita terhadap pilihan kita tersebut, yakni dengan cara berkomitmen pada pilihan tersebut.
Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.
(Berbagi dari:  http://www.pendidikankarakter.com)