Sudahlah! Ya, sudahlah! Kegagalan menjadi juara Piala AFF 2010, sekali pun menyesakkan dada, tak perlu-lah diratapi. Usah ditangisi. Jangan disesali. Tetaplah busungkan, perlihatkan bahwa garuda tetap di dada. Inilah kebanggaan baru kita. Kebanggaan anak bangsa yang selama ini seakan berlayar tak bertepi.
Benar, Firman Utina dkk gagal merengkuh gelar juara. Ya, inilah kegagalan yang masih menghadirkan eforia bahwa anak-anak negeri ini tidak gagal. Timnas masih dipuja dan dipuji telah menghadirkan sebuah sukses yang membuka mata, sebab negeri ini sudah lama tertidur dari hingar-bingar sepakbola.
Ketika support diberikan kepada Timnas sepakbola Indonesia, sebenarnya saat itu pula cibiran itu ditujukan kepada pembinaan olahraga. Selama ini tak banyak yang tahu dengan proses tim tersebut, tiba-tiba semua orang di negeri ini menginginkan prestasi gemilang. Inilah ironi. Mungkinkah menuai tanpa menanam? Bisakah berbuah tanpa berputik?
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, harapan agar prestasi didulang dalam setiap laga, adalah impian banyak orang. Harapan yang didambakan semua masyarakat di republik, namun tak banyak yang bisa dan mau menghargai sebuah proses.
Selama ini, sebuah proses seakan menjadi kewajiban atlet dan keluarganya. Tidak banyak yang mau peduli dengan kebutuhan yang harus dipenuhi atlet dan keluarganya untuk berprestasi.. Asumsi yang ditonjolkan, pembinaan dan pengembangan olahraga diharapkan datang dari masyarakat, hanya saja, ketika pengembangan itu sudah mulai tumbuh, ternyata justru dipolitisir oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Berbagai pihak pun kemudian masuk ke “arena” dengan mengkedepankan kepedulian. Berbuat sedikit, eksposnya sebukit. Kepedulian yang dihadirkan pun tak lebih dari sekadar menaikkan rating popularitas. Namun hal itu pun sebenarnya tidak masalah, malah ditunggu-tunggu, mudah-mudahan hal serupa terus berlanjut, kita harus berpikir positif, mungkin selama ini beliau-beliau tersebut terlena dengan kesibukannya dan hal-hal lain yang dianggap lebih penting dari olahraga, yang disangkakan hanya menghabis-habiskan uang. Dan ternyata diakui atau tidak olahraga merupakan salah satu alat memecahkan berbagai masalah,yang paling penting yaitu menjadikan seperti yang disampaikan kementator top olahraga, bahwa olahraga ternyata memang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa, Kita semua bangga jadi “Indonesia”. Sampai-sampai kaos berlambang merah putih dan garuda dicari-cari untuk dipakai. Luar Biasa!
Realita yang terbentang di depan mata, selama ini bibit atlet yang potensial untuk menjadi atlet handal diantaranya sering terbentur dengan berbagai masalah, sehingga mereka membenam jauh-jauh keinginan mereka menjadi atlet apabila dibenturkan dengan sistem pendidikan formal yang belum mendukung pendidikan mereka.
Jika ada yang berprestasi di dunia olahraga, ada kecenderungan mereka gagal di studi. Jika sukses di studi, umumnya mereka tidak memiliki prestasi membanggakan di olahraga. Dunia pendidikan nyaris tak peduli dengan aktivitas olahraga.
Sudah menjadi rahasia umum jika banyak atlet yang terbentur di studi. Mereka sering tidak memperoleh izin, sering diremehkan, dan tak pernah ada upaya untuk membantu mereka yang tertinggal pelajaran karena mengikuti persiapan dan pelaksanaan kejuaraan.
Sejauh ini, tak pernah ada kesepahaman dari dunia pendidikan terhadap olahraga. Akibatnya, atlet yang masih menjalani pendidikan harus menghadapi “arogansi” guru, terutama guru bidang studi non olahraga. Tak jarang di antara para guru mengancam, kalau terus berolahraga maka nilainya dari mata pelajaran yang diajarkan guru tersebut bisa seperti bola.
Salahkah para guru? Dari satu sisi, guru tak bisa disalahkan. Mereka mengikuti ketentuan baku tanpa ada pengecualian. Jika itu dilanggar dengan memberikan dispensasi atau semacam perlakuan khusus kepada siswanya, bisa saja mereka dianggap salah. Langkah terbaik, harus ada aturan khusus, sehingga kalau pun sang atlet tidak masuk dalam kurun waktu tertentu, ia tetap bisa mengikuti pendidikan seperti yang lain.
Di Singapura, misalnya, ada kewajiban guru untuk terus membimbing pelajarnya yang sedang mempersiapkan diri untuk kejuaraan tertentu. Justru guru yang mendatangi atlet ke camp latihannya. Di Amerika, juga tak jauh berbeda. Makanya tak mengherankan, kalau atlet Amerika juga orang-orang yang sukses di bidang studi.
Psikologisnya, tak ada atlet yang bodoh. Atlet adalah orang-orang pintar, memiliki fisik dan konsentrasi yang baik. Mereka harus mengalahkan lawan dengan kemampuan fisik dan berpikirnya. Atlet dipaksa berpikir dan mengambil keputusan dalam waktu singkat.
Ketika mengiring bola, misalnya. Harus tetap konsentrasi sekali pun di bawah hiruk-pikuk puluhan ribu penonton. Agar bola tetap berada di kakinya sebelum dikirim ke temannya, kekuatan fisiknya sangat menentukan, sebab bisa saja dihadang lawan. Saat mengiring bola, ia juga harus berpikir dan kemudian memutuskan, kepada siapa bola akan diberikan, atau akan menendang langsung ke gawang. Pilihan ini sangat rumit, sebab harus dilakukan dalam kurun waktu yang sangat singkat. Cabang lain memiliki prinsip yang sama, konsentrasi dan membuat keputusan dalam waktu singkat. Jika mereka bodoh, maka tidak akan pernah bisa melakukannya.
Kalau ternyata banyak atlet yang bermasalah dengan pendidikannya, umumnya hanya terjadi di negeri yang belum mampu mengurus sistem yang mensinergiskan pendidikan bagi olahragawan muda mereka. Di negeri ini, memang ada aktivitas olahraga di sekolah, namun belum mantapnya sistem yang mendukung dalam mempersiapkan siswa menjadi atlet berprestasi. Pembelajaran Pendidikan Jasmani yang merupakan bagian integral dalam pendidikan secara umum, masih termarjinalkan Malah ada iven olahraga yang diurus Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga secara berjenjang dari Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) ditingkat kota dan kabupaten kemudian berlanjut ke tingkat provinsi, lalu berlanjut ke Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas)..
Dari kenyataan yang terbentang selama ini, yang ada hanya iven berjenjang, sedangkan pembinaan berjenjang dari institusi tersebut nyaris tak pernah ada. Kalau pun ada atlet yang membela kecamatan, kota, kabupaten dan provinsinya ke tingkat Nasional, bukanlah dari pembinaan berjenjang sekolah tersebut.
Fakta sampai saat ini sangat minim pertandingan antar sekolah , yang ada “hanya memakai” atlet yang sudah ada, yang berlatih di klub secara mandiri. Selama iven berlangsung dan selama tenaga atlet itu dibutuhkan demi prestise, selama itu pula atlet dapat dispensasi. Jika iven usai, maka usai pula kepedulian pada mereka. Kalau kemudian atlet mengikuti iven di luar kepentingan institusi tersebut, maka atlet tidak akan pernah mendapatkan dispensasi atau kepedulian seperti sebelumnya. Jarang ada ucapan terimakasih atau penghargaan pada mereka. Rasanya sulit mendapatkan bintang-bintang olahragawan handal, jika minimnya kepedulian kepada bibit-bibit..
Lantas, mungkinkah menuai tanpa menanam? Bisakah berbuah tanpa berputik? Mumpung masih dibalut eforia hasil positif Timnas sepakbola Indonesia di Piala AFF 2010, tak salah kalau realita ini dijadikan sebagai pelatuk untuk menyadari kekeliruan selama ini. Jangan hanya menuntut hasil tanpa memikirkan proses. Selama ini tuntutan untuk menuai prestasi setinggi-tingginya, namun melupakan proses bagaimana prestasi itu bisa dicapai.
Sudahlah! Ya, sudahlah! Jangan terlalu menuntut prestasi jika tak pernah peduli pada prosesnya.*
*Penulis adalah Syahrial Bakhtiar (Ketua Umum Koniprov Sumbar juga Dekan FIK UNP)*
Di alihkan dari http://www.padang-today.com/?mod=artikel
Benar, Firman Utina dkk gagal merengkuh gelar juara. Ya, inilah kegagalan yang masih menghadirkan eforia bahwa anak-anak negeri ini tidak gagal. Timnas masih dipuja dan dipuji telah menghadirkan sebuah sukses yang membuka mata, sebab negeri ini sudah lama tertidur dari hingar-bingar sepakbola.
Ketika support diberikan kepada Timnas sepakbola Indonesia, sebenarnya saat itu pula cibiran itu ditujukan kepada pembinaan olahraga. Selama ini tak banyak yang tahu dengan proses tim tersebut, tiba-tiba semua orang di negeri ini menginginkan prestasi gemilang. Inilah ironi. Mungkinkah menuai tanpa menanam? Bisakah berbuah tanpa berputik?
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, harapan agar prestasi didulang dalam setiap laga, adalah impian banyak orang. Harapan yang didambakan semua masyarakat di republik, namun tak banyak yang bisa dan mau menghargai sebuah proses.
Selama ini, sebuah proses seakan menjadi kewajiban atlet dan keluarganya. Tidak banyak yang mau peduli dengan kebutuhan yang harus dipenuhi atlet dan keluarganya untuk berprestasi.. Asumsi yang ditonjolkan, pembinaan dan pengembangan olahraga diharapkan datang dari masyarakat, hanya saja, ketika pengembangan itu sudah mulai tumbuh, ternyata justru dipolitisir oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Berbagai pihak pun kemudian masuk ke “arena” dengan mengkedepankan kepedulian. Berbuat sedikit, eksposnya sebukit. Kepedulian yang dihadirkan pun tak lebih dari sekadar menaikkan rating popularitas. Namun hal itu pun sebenarnya tidak masalah, malah ditunggu-tunggu, mudah-mudahan hal serupa terus berlanjut, kita harus berpikir positif, mungkin selama ini beliau-beliau tersebut terlena dengan kesibukannya dan hal-hal lain yang dianggap lebih penting dari olahraga, yang disangkakan hanya menghabis-habiskan uang. Dan ternyata diakui atau tidak olahraga merupakan salah satu alat memecahkan berbagai masalah,yang paling penting yaitu menjadikan seperti yang disampaikan kementator top olahraga, bahwa olahraga ternyata memang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa, Kita semua bangga jadi “Indonesia”. Sampai-sampai kaos berlambang merah putih dan garuda dicari-cari untuk dipakai. Luar Biasa!
Realita yang terbentang di depan mata, selama ini bibit atlet yang potensial untuk menjadi atlet handal diantaranya sering terbentur dengan berbagai masalah, sehingga mereka membenam jauh-jauh keinginan mereka menjadi atlet apabila dibenturkan dengan sistem pendidikan formal yang belum mendukung pendidikan mereka.
Jika ada yang berprestasi di dunia olahraga, ada kecenderungan mereka gagal di studi. Jika sukses di studi, umumnya mereka tidak memiliki prestasi membanggakan di olahraga. Dunia pendidikan nyaris tak peduli dengan aktivitas olahraga.
Sudah menjadi rahasia umum jika banyak atlet yang terbentur di studi. Mereka sering tidak memperoleh izin, sering diremehkan, dan tak pernah ada upaya untuk membantu mereka yang tertinggal pelajaran karena mengikuti persiapan dan pelaksanaan kejuaraan.
Sejauh ini, tak pernah ada kesepahaman dari dunia pendidikan terhadap olahraga. Akibatnya, atlet yang masih menjalani pendidikan harus menghadapi “arogansi” guru, terutama guru bidang studi non olahraga. Tak jarang di antara para guru mengancam, kalau terus berolahraga maka nilainya dari mata pelajaran yang diajarkan guru tersebut bisa seperti bola.
Salahkah para guru? Dari satu sisi, guru tak bisa disalahkan. Mereka mengikuti ketentuan baku tanpa ada pengecualian. Jika itu dilanggar dengan memberikan dispensasi atau semacam perlakuan khusus kepada siswanya, bisa saja mereka dianggap salah. Langkah terbaik, harus ada aturan khusus, sehingga kalau pun sang atlet tidak masuk dalam kurun waktu tertentu, ia tetap bisa mengikuti pendidikan seperti yang lain.
Di Singapura, misalnya, ada kewajiban guru untuk terus membimbing pelajarnya yang sedang mempersiapkan diri untuk kejuaraan tertentu. Justru guru yang mendatangi atlet ke camp latihannya. Di Amerika, juga tak jauh berbeda. Makanya tak mengherankan, kalau atlet Amerika juga orang-orang yang sukses di bidang studi.
Psikologisnya, tak ada atlet yang bodoh. Atlet adalah orang-orang pintar, memiliki fisik dan konsentrasi yang baik. Mereka harus mengalahkan lawan dengan kemampuan fisik dan berpikirnya. Atlet dipaksa berpikir dan mengambil keputusan dalam waktu singkat.
Ketika mengiring bola, misalnya. Harus tetap konsentrasi sekali pun di bawah hiruk-pikuk puluhan ribu penonton. Agar bola tetap berada di kakinya sebelum dikirim ke temannya, kekuatan fisiknya sangat menentukan, sebab bisa saja dihadang lawan. Saat mengiring bola, ia juga harus berpikir dan kemudian memutuskan, kepada siapa bola akan diberikan, atau akan menendang langsung ke gawang. Pilihan ini sangat rumit, sebab harus dilakukan dalam kurun waktu yang sangat singkat. Cabang lain memiliki prinsip yang sama, konsentrasi dan membuat keputusan dalam waktu singkat. Jika mereka bodoh, maka tidak akan pernah bisa melakukannya.
Kalau ternyata banyak atlet yang bermasalah dengan pendidikannya, umumnya hanya terjadi di negeri yang belum mampu mengurus sistem yang mensinergiskan pendidikan bagi olahragawan muda mereka. Di negeri ini, memang ada aktivitas olahraga di sekolah, namun belum mantapnya sistem yang mendukung dalam mempersiapkan siswa menjadi atlet berprestasi. Pembelajaran Pendidikan Jasmani yang merupakan bagian integral dalam pendidikan secara umum, masih termarjinalkan Malah ada iven olahraga yang diurus Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga secara berjenjang dari Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) ditingkat kota dan kabupaten kemudian berlanjut ke tingkat provinsi, lalu berlanjut ke Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas)..
Dari kenyataan yang terbentang selama ini, yang ada hanya iven berjenjang, sedangkan pembinaan berjenjang dari institusi tersebut nyaris tak pernah ada. Kalau pun ada atlet yang membela kecamatan, kota, kabupaten dan provinsinya ke tingkat Nasional, bukanlah dari pembinaan berjenjang sekolah tersebut.
Fakta sampai saat ini sangat minim pertandingan antar sekolah , yang ada “hanya memakai” atlet yang sudah ada, yang berlatih di klub secara mandiri. Selama iven berlangsung dan selama tenaga atlet itu dibutuhkan demi prestise, selama itu pula atlet dapat dispensasi. Jika iven usai, maka usai pula kepedulian pada mereka. Kalau kemudian atlet mengikuti iven di luar kepentingan institusi tersebut, maka atlet tidak akan pernah mendapatkan dispensasi atau kepedulian seperti sebelumnya. Jarang ada ucapan terimakasih atau penghargaan pada mereka. Rasanya sulit mendapatkan bintang-bintang olahragawan handal, jika minimnya kepedulian kepada bibit-bibit..
Lantas, mungkinkah menuai tanpa menanam? Bisakah berbuah tanpa berputik? Mumpung masih dibalut eforia hasil positif Timnas sepakbola Indonesia di Piala AFF 2010, tak salah kalau realita ini dijadikan sebagai pelatuk untuk menyadari kekeliruan selama ini. Jangan hanya menuntut hasil tanpa memikirkan proses. Selama ini tuntutan untuk menuai prestasi setinggi-tingginya, namun melupakan proses bagaimana prestasi itu bisa dicapai.
Sudahlah! Ya, sudahlah! Jangan terlalu menuntut prestasi jika tak pernah peduli pada prosesnya.*
*Penulis adalah Syahrial Bakhtiar (Ketua Umum Koniprov Sumbar juga Dekan FIK UNP)*
Di alihkan dari http://www.padang-today.com/?mod=artikel
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar,namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.