Natural, Informative And Educative

Natural, Informative And Educative
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA YANG KE 75, SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA, MARHABAN YA MUHARRAM. SELAMAT MEMASUKI TAHUN BARU ISLAM 1442 H" Mohon maaf lahir batin

Jumat, 23 September 2011

Rok Mini Versus Pakaian Syar'i

Share

Belakangan ini, masyarakat Jakarta dikejutkan maraknya kasus pemerkosaan terhadap perempuan. Kejadian itu tentu menyisakan kenangan perih karena kehilangan kesucian yang berusaha dipertahankan. Kaum perempuan sebagai kalangan yang harusnya dilindungi justru mendapatkan ancaman kriminalitas. Mereka mendapatkan gejala serangan asusila yang mengorbankan harga diri.
     Perkembangan suburnya kasus pemerkosaan sendiri sudah banyak terjadi. Tapi mulai ramai kembali menyusul kasus yang menimpa Livia, mahasiswa Binus pada 16 Agustus lalu. Korban menaiki angkot M 24 jurusan Slipi – Srengseng. Dirinya diperkosa dan mayatnya dibuang. Kejadian mengerikan ini memicu ketakutan banyak perempuan untuk naik angkot.
     Belum selesai satu masalah pemerkosaan, masyarakat kembali dikejutkan pemerkosaan karyawati berinisial RS. Dirinya mengalami perampokan dan pemerkosaan saat menaiki angkot yang berputar di sepanjang Jl TB Simatupang. Salah seorang pelaku akhirnya dapat ditangkap dua minggu kemudian setelah korban melihat supir angkot pemerkosanya. Tanpa ampun, korban melaporkan ke kepolisan terdekat yang langsung meringkusnya.
    Rentetan kasus pemerkosaan itu menambah deretan panjang kriminalitas perkosaan di Jakarta. Sebelumnya jumlah kasus perkosaan di Jakarta selama Januari hingga September 2011 mencapai 3753 kasus. Khusus di Jakarta terdapat 40 kasus. Sebagian besar korbannya dicekoki miras kemudian diperkosa dalam rumah. Sedangkan, tiga kasus pemerkosaan terjadi di angkutan umum.
Kerawanan angkutan umum langsung mendapat respons banyak pihak. Kalangan penegak hukum mengambil kebijakan merazia angkot. Supir tembak dan kaca gelap mobil angkot dianggap pokok persoalan maraknya perkosaan sehingga menjadi sasaran razia.
Tidak ketinggalan komentar Fauzi Bowo yang menyatakan bahwa pemerkosaan di angkutan umum muncul karena gaya busana minim. Bupati Aceh Barat Ramli Mansur juga menyatakan perempuan berbusana minim seakan minta dan layak diperkosa.
Menjawab tudingan para birokrat, banyak kaum perempuan merasa terlecehkan. Para perempuan penyuka rok mini berdemonstrasi dan menolak disalahkan. Sebaliknya, mereka menyalahkan ucapan keduanya yang dianggap menimbulkan polemik karena bias gender. Perkataan Foke dan Ramli dianggap menistakan korban yang seharusnya membutuhkan perawatan dan pertolongan fisik.
Rok Mini, sebuah kesalahan ?
Kecaman sekelompok perempuan itu memang dianggap sebuah kewajaran. Tapi bukan sebuah sikap bijak menyalahkan sepenuhnya komentar Foke dan Ramli. Sebab pencegahan dari tindakan kejahatan memang seharusnya dilakukan sejak dini. Sebab kejahatan timbul karena adanya aksi – reaksi. Pemakaian rok mini, perhiasan berlebihan dan pakaian ketat sangat rawan tindakan pelecehan seksual.
Hemat penulis, kita layak mengutuk perbuatan pemerkosaan yang melanda banyak kaum perempuan. Timbulnya tindak pemerkosaan di angkutan umum sangat meresahkan masyarakat utamanya kaum perempuan. Pelaku kejahatan layak dihukum berat atas perbuatannya merusak dan menghilangkan harga diri wanita.
Tapi perlu dipikirkan kembali pendapat Ketua MUI Amidhan. Beliau menegaskan kejahatan terjadi karena ada niat dan kesempatan. Perempuan berbusana ketat, rok mini dan mengumbar aurat dapat membuat syahwat lelaki bergejolak. Pemakaian busana yang meminggirkan aturan agama ditambah perhiasan berlebihan seperti memberikan kesempatan kepada orang lain membuat kejahatan. Apalagi di banyak kota besar banyak perempuan berpakaian tapi sesungguhnya “telanjang”.
Momentum maraknya pemerkosaan seharusnya menjadi ajang refleksi. Kalangan perempuan harus mengembalikan fitrahnya dengan menutup auratnya. Sebab potensi kejahatan seksual banyak dialami perempuan berbusana minim. Ada baiknya, mereka menutup tubuhnya berbalut jilbab dan busana yang sopan. Jika tidak sesuai syariat Islam, minimal menutup kaki sampai di bawah dengkul.
Islam sendiri sebagai agama sudah mengajarkan perempuan bagaimana melindungi dirinya. Syariat Islam meminta kaum muslimah menutup auratnya yaitu seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Lebih tegas, Allah menyuruh muslimah untuk berjilbab. Pemakaian jilbab bertujuan agar tidak diganggu lelaki yang bukan muhrimnya.
"Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min semua hendaklah mereka menghulurkan jilbab-jilbab mereka atas (muka-muka) mereka. Yang demikian itu lebih mendekati mereka untuk dikenal supaya mereka tidak diganggu." (al-Ahzab: 59)
Akhirnya hemat penulis, masalah perkosaan di angkutan umum ada dua solusi. Pertama, adanya kesalahan paradigma dari perempuan rok mini bukan sebuah kesalahan. Demonstrasi perempuan penyuka rok mini menjadi sebuah pemantik kejahatan seksual.
Sebaiknya, mereka intropeksi diri memakai busana sopan dan sesuai aturan agama. Jika perlu memakai jilbab sehingga tidak ada sejengkal aurat dapat dinikmati lawan jenisnya.
Kedua, lemahnya perlindungan hukum terhadap kaum perempuan. Pemerintah daerah dan penegak hukum harus mulai tegas terhadap pelaku kejahatan. Pengusutan laporan kejahatan seksual jangan berhenti pada berkas laporan saja. Pelaku harus ditangkap dan diberikan hukuman seberat – beratnya.
Pemerintah daerah dan dinas perhubungan juga harus menindak tegas oknum supir tembak dan kaca mobil angkutan umum. Ini penting demi mencegah kejahatan serupa terulang sekaligus memberikan jaminan keamanan terhadap penumpang perempuan.
Penulis: Inggar Saputra
Pengurus Pusat Persatuan KAMMI dan peneliti Insure

Jumat, 09 September 2011

Memaknai Kembali Hari Olahraga Nasional

Share

  Peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2001, hari ini diperingati serentak di seluruh Indonesia, di Jakarta upacara peringatan HAORNAS digelar di halaman Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Tema peringatan Haornas 2011 kali ini adalah "Satu Indonesia, Bangkit dan Maju".  Dengan tema ini, kita ingin olahraga semakin maju dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa pada bidang-bidang lain seperti ekonomi, demokrasi dan teknologi.

Di tengah-tengah kemerosotan prestasi para atlet kita, masih pantaskah kita merayakannya? Banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Bukan hanya oleh atlet, pelatih dan para pembina olahraga. Pemerintah dan masyarakat juga memiliki tanggung jawab yang sama.
Peringatan Haornas pertama kali diselenggarakan pada 9 September 1983. Tanggal tersebut sengaja dipilih untuk mengenang sejarah diselenggarakannya Pekan Olahraga Nasional (PON) edisi perdana. PON I digelar 9-12 September 1948, di Solo, melibatkan tak kurang dari 600 atlet yang bertanding dalam sembilan cabang olahraga.
Kesuksesan menggelar PON hanya tiga tahun setelah kita memproklamasikan kemerdekaan adalah sebuah prestasi istimewa. Melalui ajang ini, Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Di tengah situasi keamanan nasional yang belum sepenuhnya terjamin, kita mampu menggelar pesta olahraga nasional.
Olahraga memang menjadi instrumen penting bagi pembangunan karakter bangsa Indonesia (national character building). Di tahun 1962, Indonesia kembali menjadi pusat perhatian dunia saat sukses menjadi tuan rumah Asian Games. Hanya setahun berselang, kita kembali membuat buah bibir lantaran menggelar Games of New Emerging Forces (Ganefo).
Ajang multicabang itu memang dimaksudkan untuk menjadi ‘olimpiade tandingan’. Betapa tidak? Ganefo diikuti oleh 2.200 atlet dari 48 negara. Ganefo adalah alat propaganda Soekarno dalam menyebarkan konsepsinya mengenai dualisme kekuatan dunia saat itu, Oldefo (Old Established Forces) dan Nefo (New Emerging Forces). Pemicu lain adalah keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk mengeluarkan Indonesia dari keanggotaannya setelah kita menentang kepesertaan Israel dan Taiwan dalam Asian Games.
Tumbangnya kekuasaan Soekarno dan berkuasanya rezim Orde Baru tidak berarti perhatian terhadap olahraga menurun. Penetapan tanggal 9 September sebagai Haornas adalah salah satu bukti bahwa Soeharto juga concern dengan olahraga.
Bukti lain yang tak terbantahkan adalah prestasi kita di Sea Games. Sejak pertama kali berpartisipasi pada 1977, Indonesia sudah sembilan kali menjadi juara. Dan yang mengejutkan, semua gelar prestisius itu kita raih di periode kepemimpinan Pak Harto. Pasca runtuhnya Orde Baru, kita belum berhasil mengulangi prestasi manis itu.
Di Olimpiade Seoul 1988, akhirnya Sang Merah Putih bisa berkibar. Tapi, kala itu Indonesia baru bisa meraih medali perak melalui cabang panahan nomor beregu putri. Empat tahun berselang, momen bersejarah akhirnya datang saat Susy Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan dua medali emas di Olimpiade Atlanta. Sejak itu, bulutangkis tak pernah absen menyumbang medali emas bagi Indonesia dalam tiga penyelenggaraan Olimpiade (Sidney 2000, Athena 2004 dan Beijing 2008).
Entah kebetulan atau tidak, pasca reformasi politik yang terjadi di tanah air pada 1998, prestasi olahraga Indonesia cenderung menurun. Betul bahwa medali emas olimpiade bisa kita pertahankan, tapi tak bisa dimungkiri bahwa atlet bulutangkis kita semakin sulit mengimbangi persaingan atlet-atlet mancanegara. Hal ini bisa dilihat dari pencapaian anak-anak Cipayung di berbagai turnamen bulutangkis, baik beregu maupun perseorangan.
 Prestasi Indonesia di Asian Games (AG) juga sempat menunjukkan tren penurunan, dari posisi ke-11 pada AG 1998, menjadi peringkat 14 di AG 2002 dan posisi ke-22 di AG 2006. Untungnya pada AG 2010 lalu kita bisa merangkak naik kembali ke posisi 15 dari 45 negara peserta.
Sementara itu, dalam enam kali penyelenggaraan Sea Games terakhir, kita juga kesulitan mengembalikan supremasi. Lima kali Indonesia harus puas duduk di urutan ketiga (1999, 2001, 2003, 2007 dan 2009), dan sekali terpuruk di peringkat lima (2005). Kejayaan kita di masa lalu seolah tak berbekas.
Berbagai fakta tersebut seharusnya menyadarkan para pembina olahraga di Indonesia, suatu perubahan revolusioner harus dilakukan. Kita sudah tertinggal beberapa langkah di banding negara-negara tetangga. Jika kita hanya jalan di tempat jangan harap ada peningkatan raihan prestasi.
Perubahan paradigma jadul harus dilakukan. Era sport science sudah bukan lagi sekadar wacana. Kemajuan ilmu teknologi sudah dimanfaatkan negara lain untuk mendukun peningkatan prestasi olahraga. Para pengurus induk organisasi olahraga jangan lagi hanya menunggu berkah dari langit, munculnya atlet berbakat.
Alangkah baiknya jika peringatan haornas ke-28 ini menjadi momentum kebangkitan prestasi olahraga kita di level dunia. Sudah 27 kali kita melalui haornas hanya sebagai sebuah seremonial belaka. Slogan “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga” yang 28 tahun lalu digemakan oleh Soeharto harus direalisasikan.
Salah satu masalah klasik mandeknya prestasi kita adalah lemahnya pondasi pembinaan olahraga di tanah air. Pembibitan olahraga adalah tahapan penting dalam pembinaan prestasi olahraga karena merupakan pondasi dari bangunan sistem pembinaan prestasi olahraga. Dalam proses pembibitan ini peran serta masyarakat mutlak dibutuhkan.
Jika masyarakat sudah ‘diolahragakan’ dan olahraga sudah ‘memasyarakat’, pembibitan bakat-bakat potensial niscaya akan lebih mudah. Well, pada akhirnya kita memang tidak bisa cuma mengandalkan pemerintah tapi juga harus turut mengambil peran dalam upaya menggelorakan semangat dan prestasi olahraga nasional.
Selamat Hari Olahraga Nasional!